Senin, 22 Desember 2008

Konsep Dasar Etika dan Moralitas

‘Nasionalisme kita tidaklah berlainan dengan nasionalisme yang berseri-seri di dalam semangatnya lagu Bande Mataram yang menggetarkan udara pergerakkan nasional India, yakni nyanyian yang juga memuji-muji negeri India oleh karena “sungai-sungai yang berkilau-kilauan”, juga menjatuhkan air mata patriot India oleh pujian atas segalanya. “Angin yang meniup gunung-gunung bukit Vindhya”, juga menguatkan bhakti pada tanah air itu menjadi bhakti kepada Janani Janma-bhumi, yakni bhakti kepada ibu dan tanah air adanya’
Ir. Soekarno

Konsep Dasar Makna Etika & Moralitas
Harian Kompas tanggal 15 September 2004 dalam Pemilu Presiden 2004 (halaman 37) menurunkan sebuah topik Banalisasi Korupsi, oleh Budiman Tanuredjo dengan mengutip bahasa Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (2003) telah terjadi banalisasi (menjadikan biasa) praktik korupsi dan masyarakat permisif atas korupsi. Dalam pernyataannya yang bombastis dinyatakan bahwa ‘korupsi terjadi mulai dari istana hingga kelurahan, sejak orang lahir sampai mati, dari tempat ibadah hingga ke toilet’ dan Haryatmoko mengatakan, pelaku korupsi di Indonesia tidak pernah merasa bersalah. Itu disebabkan, pertama, karena korupsi sudah menjadi kebiasaan. Kedua, tiadanya sanksi hukum atau pelaku yang mudah dijerat hukum, ketiga, korban korupsi tidak berwajah dan keempat, mekanisme silih atas kejahatan. Mengikuti apa yang dikatakan Paul Ricouer (1949), terdapat empat dimensi kesalahan, yaitu kesalahan kriminal, kesalahan metafisik, kesalahan moral dan kesalahan politik. Kesalahan kriminal terjadi jika seseorang dianggap bersalah karena melanggar hukum positif. Dalam praktiknya di Indonesia gagal, banyak koruptor bebas. Kesalahan metafisik dialami saat pelaku merasa bersalah di hadapan Tuhan. Untuk menutupi rasa bersalah itu, koruptor menyumbang sebagian hasil korupsi untuk membangun rumah ibadat atau beribahan ke tempat suci. Sebagian lagi untuk amal, menyantuni. Mekanisme silih atas kejahatan telah terjadi. Kesalahan moral dan kesalahan politik mungkin sulit ditebus oleh pelaku. Dari sisi moralitas, koruptor dituntut tanggung jawabnya pada orang lain.
Dalam tulisan yang sama dikemukakan pula hasil penelitian lembaga internasional, Transparency Internasional juga menginformasikan bahwa Indonesia adalah negara terkorup. Sejak tahun 1980 hingga tahun 2003, Indonesia terus dipersepsi publik sebagai negara terkorup. Pada tahun 2003, Indonesia berada pada peringkat 122 dari 133 negara terkorup. Pada tahun 2002 Indonesia di peringkat 96 dari 102 negara, tahun 2001 di peringkat 88 dari 91 negara. Tahun 99 di peringkat 96 dari 99 negara. Pada era Orde Baru Indonesia juga tetap pada peringkat-peringkat buncit. Misalnya, pada tahun 1998 pada peringkat 96 dari 99 negara, tahun 1996 peringkat 80 dari 85 negara dan pada tahun 1995, di peringkat 41 dari 41 negara. Hasil penelitian Tranparency Internasional tersebut, menunjukkan kepada kita betapa rapuhnya moral bangsa kita dan dari penelitian tersebut, nampak ajaran agama yang dianut obang bangsa Indonesia sebagai pembimbing, penuntun dan penjaga etika dan moralitas bangsa, tidak mampu diamalkan untuk membentengi bangsa ini dari perbuatan yang sangat bertentangan dengan ajaran agama tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh, maka konsep dasar etika dan moralitas yang diekspresikan oleh umat manusia sesungguhnya bersumber pada ajaran agama (teologi) yang memandang manusia sebagai ciptaan-Nya, berasal dari yang suci dan dalam ajaran agama Hindu, menjelma ke dunia ini adalah untuk mengentaskan karma-karma buruk dengan sebanyak-banyaknya berbuat baik, sebab tujuan hidup manusia, tidak hanya sejahtera di dunia ini, tetapi yang lebih utama lagi adalah mencapai kebebasan dan bersatu kembali kepada-Nya. Untuk sampai kepada-Nya, seseorang harus menghindarkan diri dari segala dosa dan karma buruk yang akan menjatuhkan dirinya ke lembah neraka.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. K. Berten dalam bukunya Etka (Seri Filsafat Atmajaya: 15/1997: 6) mempertajam rumusan makna dalam kamus tersebut di atas, menyatakan: pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara “etika suku-suku Indian”, “etika agama Buddha”, “etika Protestan”, maka tidak dimaksudkan sebagai “ilmu”, melainkan arti pertama tadi. Secara singkat arti ini bisa juga dirumuskan sebagai “sitem nilai”, dan boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik, seperti “Etika Rumah Sakit Indonesia (1986). Ketiga, etika mempunyai arti “ilmu tentang yang baik atau buruk”.
Kata etika sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral yang berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disamakan maknanya dengan kata etika. Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk (Berten, 1997:7). Di samping kata moral seperti tersebut di atas, kita masih mendengar atau membaca istilah amoral dan immoral. Menurut K. Berten, kata amoral diartikan sebagai netral dari sudut moral atau tidak mempunyai relevansi etis, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik. Masih terkait dengan moral dan etika dan etiket. Etiket lebih menekankan pada sopan santun, di samping berarti label.
Pengungkapan korupsi sebagai salah satu wujud perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas bangsa, karena hal ini yang paling berdampak, yakni kerugian dan penderitaan masyarakat luas atas perilaku segelintir dari para koruptor, di samping itu perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas lainnya adalah pelacuran dengan adanya beberapa lokasi PSK yang sangat besar di beberapa kota di Indonesia, pelanggaran hak azasi manusia (HAM), terorisme yang mengguncangkan bangsa Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu, yang memberi citra negatif kepada bangsa ini sebagai bangsa yang belum mampu mengatasi teroris dan menjadikan warga negara asing (khususnya wisatawan) membatalkan keinginannya untuk berlibur di Indonesia. Permasalah korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran etika dan moralitas bangsa ini merupakan sebuah ancaman yang besar yang dapat menghancurkan sendi-sendi kebangsaan (integritas bangsa) Indonesia yang mesti disadari oleh seluruh bangsa Indonesia untuk dicarikan solusi guna memecahkan dan mengatasinya.
Mencari Akar Krisis Etika & Moralitas Bangsa
Di dalam berbagai kitab-kitab Puràóa ditengarai bahwa sejak penobatan raja Parikûit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai memasuki zaman Kaliyuga (Gambirananda, 1984 : XIII). Kata Kaliyuga berarti zaman pertengkaran yang ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan materialistis. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan memuaskan nafsu indrawi (kàma) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri zaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi dengan muatan filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi pada material dan usaha untuk memperoleh kesenangan nafsu belaka. Dengan tidak mengecilkan arti dampak postif globalisasi, maka dampak negatifnya perlu lebih diwaspadai. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur. Di mana-mana nampaknya masyarakat mudah tersulut ke dalam pertengkaran. Pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia digambarkan dalam kitab Skanda Puràóa, XVII.1, antara lain pada : minuman keras, perjudian, pelacuran, dan kekuasaan serta harta benda (Mani, 1989 : 373). Hal ini adalah logis, karena pada tempat-tempat tersebut merupakan arena yang sering mengobarkan pertengkaran. Minuman keras menjadikan seseorang mabuk dan bila mabuk maka pikiran, perkataan dan tingkah lakunya sulit untuk dikendalikan. Demikian di tempat perjudian, pelacuran dan kekuasaan serta persaingan mencari harta benda yang tidak dilandasi oleh Dharma (kebenaran), di tempat-tempat tersebut sangat peka meletupnya pertengkaran yang kadang-kadang berakibat fatal, yaitu pembunuhan.
Di dalam ajaran agama dinyatakan bahwa setiap orang dibenarkan untuk mencari harta benda dan kesenangan (artha dan kàma), namun semuanya hendaknya berlandaskan ajaran Dharma (kebenaran, kebajikan, ajaran agama, etika dan moralitas) dan bila memperoeh harta benda yang cukup dan apalagi banyak, semuanya hendaknya digunakan untuk kemakmuran masyarakat. Mencari harta benda dan kesenangan duniawi bila tidak berlandaskan ajaran Dharma, perbuatannya itu akan menjerumuskan diri manusia ke dalam neraka, sebagai pahala dari karma buruk yang dilakukan. Akar permasalahan kehancuran etika dan moralitas umat manusia dinyatakan di dalam kitab Ìśavasya Upaniûad, adalah keinginan mengambil milik orang lain, sebagai berikut:
Ìúavasyam idaý sarvaý yatkiñca jagatyaý jagat,
tena tyaktena bhùñjitha ma gåddhah kaúya svidhanam’

‘Sesungguhnya apa pun yang ada di jagat raya ini, yang berjiwa dan yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Ìúa (Tuhan Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukkan bagi dirinya dan tidak menginginkan milik orang lain’

Menurut kitab Upaniûad di atas, seseorang harus puas terhadap apa yang menjadi haknya. Keinginan untuk memuaskan nafsu dan menginginkan milik orang lain merupakan salah satu akar dari krisis etika dan moralitas bangsa. Mahatma Gandhi dalam suatu kesempatan menyatakan: ‘Bumi ini sesungguhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, namun ia tidak akan pernah mencukupi kerakusan manusia. Berkenaan dengan kerakusan seseorang, mereka merasa tidak memperoleh keadilan, merasa dimarginalisasi dan sebagainya menimbulkan letupan yang cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas. Politisasi agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok juga merupakan salah satu ancaman terhadap integrasi nasional.

Tidak ada komentar: